Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat yang majemuk. Berbagai idealisme membentuk kultur yang begitu pelik,
rumit dan saling berhubungan. Kultur atau budaya ini diwariskan turun temurun mulai dari nenek moyang hingga
anak cucu dan menjadi semacam keharusan.
Termasuk kepercayaan yang ada
sampai sekarang adalah hari nahas di rabu terakhir bulan Safar. Dipercaya bahwa
pada hari itu terdapat kesialan-kesialan yang turun ke bumi. Banyak masyarakat
yang lantas melakukan ritual yang diyakini dapat menolak bala yang terjadi
waktu itu.
Sial di Rebo wekasan
Tidak
ada yang tahu siapa penemu dan pencetus pertama Rebo wekasan, namun kepercayaan
ini sejalan dengan deskripsi umum masyarakat indonesia yang sangat kental dengan
kepercayaan dinamisme
yakni, segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan
hidup.
Baca Juga : Prinsip ham dalam Islam
Baca Juga : Prinsip ham dalam Islam
Keyakinan
ini sejalan dengan kepercayaan Arab kuno yang juga meyakini terdapat kesialan
di bulan Safar. Nabi
Muhammad r juga
mewanti-wanti para sahabat agar tidak terjerumus pada keyakinan ini. Menurut
al-Hafidz Ibn Rajab al-Hanbali, banyak orang awam yang meyakini datangnya sial
pada bulan safar, terkadang melarang bepergian. Meyakini datangnya sial pada
bulan ini
termasuk jenis thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang dilarang.
Rasulullah
bersabda:
“Tidak ada
penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar.
Tidak ada kepercayaan yang bersumber dari burung .” (HR. al-Bukhari
dan Muslim).
Dalam beberapa literatur,
terdapat riwayat yang mengatakan bahwa pada hari rabu terakhir di bulan hijriah
terdapat kesialan yang berkelanjutan, seperrti yang diriwayatkan oleh Waki’
dalam al-Ghurar, Ibnu Mardawaih dalam at-Tafsir dan Khatib
al-Baghdadi.
أخر أربعاء في الشهر يوم نحس مستمر
“Rabu terakhir
dalam sebulan adalah hari nahas terus menerus”
Hadis ini tidak bisa dijadikan dasar atas kesialan yang
terjadi di bulan Safar, sebab kekuatan sanadnya lemah, namun hadis ini bisa
dijadikan peringatan agar
berhati-hati ketika mengerjakan sesuatu di bulan Safar. Memang benar hadis dhaif yang berbicara tentang akidah dan hukum
(halal atau haram) tidak boleh dijadikan hujjah, tetapi boleh dijadikan dasar penyemangat
dalam beramal dan berhati-hati.
Baca Juga : Pengertian isi dan sejarah sumpah pemuda
Baca Juga : Pengertian isi dan sejarah sumpah pemuda
Ulama lantas
mengklasifikasi bentuk kepercayaan pada kekuatan satu benda menjadi tiga macam.
Barangsiapa meyakini bahwa api membakar dengan kekuatan panasnya, air
menyegarkan dengan kekuatan segarnya maka ia tergolong kufur. Barangsiapa
meyakini bahwa api tersebut membakar sebab kekuatan yang Allah titipkan
padanya, maka ia tergolong bodoh dan fasiq. Barang siapa meyakini bahwa yang
memberikan akibat hanya Allah r semata,
sedangkan fenomena ‘membakar’ ketika api menyentuh kayu hanya sebagai kebiasaan
umum saja, maka ia termasuk orang mukmin.
Imam Ibnu Farkah menuturkan
dengan menyadur pendapat Imam Syafii “Bila ahli perbintangan meyakini bahwa yang menjadikan
segala sesuatu hanya Allah r, hanya
saja Allah r menjadikan ‘sebab akibat’ dalam setiap kebiasaan
maka keyakinan semacam ini tidak apa-apa. Yang bermasalah dan tercela adalah
bila seseorang berkeyakinan bahwa bintang-bintang dan makhluk lain adalah yang
mempengaruhi akan terjadinya sesuatu itu sendiri (bukan Allah)”.
Tidak
ada hari sial di bulan Safar dan di bulan-bulan lainnya, namun berhati-hati
juga tidak ada salahnya. Yang perlu diperhatikan adalah keyakinan bahwa yang
punya kuasa mutlak hanya Allah r dan yang terpenting adalah mengisi hari-hari
kita dengan perbuatan yang baik.
Baca Juga : Perjuangan santri di 10 november, ultah hari pahlawan
Baca Juga : Perjuangan santri di 10 november, ultah hari pahlawan
EmoticonEmoticon